Oke, judul diatas bisa dibilang vulgar, terutama dengan mewabahnya pandangan fanatis atas kepercayaan di masa sekarang ini, dimana pandangan-pandangan baru akan sebuah hal bisa meluncurkan sebuah kesalahpahaman yang berujung konflik. Kita hentikan dulu sampai disitu fanatisme-nya.
Tarot sendiri (menurut saya) hanyalah sebuah media refleksi diri serta pembacaan mengenai sesuatu (atau banyak) hal yang terbengkalai, terutama sisi “manusiawi”; manusia itu sendiri. Sedangkan Qadha’ dan Qadar adalah sebuah hukum dari sudut pandang agama. Tidak sebanding dengan sebuah media yang berusaha membaca hukum tersebut. Namun, Tarot sebagai sebuah “divination media” memiliki kelebihan dalam mengoreksi sisi personal seseorang secara psikologis dalam menganalisis “kemungkinan-kemungkinan” yang terjadi melalui banyak pilihan-pilihan yang bisa diambil dalam mempengaruhi masa depannya.
Anda yang menganggap diri anda sebagai umat muslim, tentunya pasti pernah mendengar mengenai rukun iman. Ya, benar salah satunya adalah beriman kepada Qadha’ dan Qadar. Namun, apa itu Qadha’ dan Qadar? Di masa sekarang ini khususnya anak muda kebanyakan (mungkin)banyak yang sekedar tahu namanya saja dan tidak mengerti akan makna sesungguhnya dari Qadha’ dan Qadar. Keduanya berkaitan dengan kehidupan kita, dimana hukum kausalitas dan juga takdir yang absolut, membentuk sebuah alur dan jalur yang dinamakan kehidupan.
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd:
QADHA’
Qadha’, menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan.
Asal (makna)nya adalah: Memutuskan, memisahkan, menen-tukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyele-saikannya. Maknanya adalah mencipta. [4]
Kaitan Antara Qadha’ dan Qadar
1. Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’ ialah penciptaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit… .” [QS Fushshilat: 12]
Yakni, menciptakan semua itu.Qadha’ dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha’. Barangsiapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. [5]
2. Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha’ ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. [6]
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.’” [7]
QADAR
Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). [1]
Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir/puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir/puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai’ aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.” [2]
Qadar, menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya. [3]
Atau: Ilmu Allah, catatan (takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.
3. Dikatakan, jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam (pengertian)nya.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
Dengan kata lain, Qada dan Qadar adalah sebuah pemahaman mengenai jalan hidup seseorang yang ditentukan oleh 2 faktor, pertama adalah faktor atas ijin Allah, dan yang kedua ialah faktor perbuatan manusia itu sendiri. Setiap perbuatan akan dikenakan balasan yang setimpal, dan bisa dimaknai juga sebagai hukum kausalitas (sebab-akibat) dalam pandangan yang lebih bebas.
Pemahaman mengenai Qadha’ , menekankan pada titik dimana manusia memang tidak memiliki daya dan upaya dalam menentukan sesuatu pilihannya. Salah satu contoh pernyataan, sekaligus pertanyaan yang paling mudah yang (saya yakin) tidak bisa dijawab oleh siapapun juga adalah : Bagaimana kita bisa menentukan, kita lahir di keluarga yang kita inginkan ? Lalu bagaimana kita bisa menentukan kondisi fisik kita ketika terlahir di dunia ini sama seperti apa yang kita inginkan?
Sedangkan Qadar, menekankan pada titik dimana manusia sudah terlahir di dunia ini dan memiliki kemampuan untuk memilih jalan bagi kehidupannya sendiri. Disinilah faktor kausalitas bekerja. Siapa yang menanam benih, maka dia yang akan menuai. Namun dengan cara apa perbuatan kita akan kembali? Inilah yang kemudian kembali kepada Qadha’, dimana hukum Allah secara absolut bekerja tanpa kita ketahui, bahkan kita sadari sekalipun.
Tarot adalah Ramalan?
Saya jawab, Tarot adalah prediksi, bukan ramalan. Tarot mengklaim dirinya sebagai sebuah divination yang terkoneksi dengan alam bawah sadar manusia yang kemudian di klaim lagi oleh Carl Gustav Jung sebagai energi yang terkoneksi dengan alam semesta. Well, mungkin tulisan ini akan beranjak ke level yg lebih luas lagi mengenai definisi komparatif antara trance dan khusyuk, namun sebelum itu terjadi mari kita perjelas lagi tarot sebagai sebuah divination.
Divination sendiri jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Ramalan. Apakah itu ramalan? Lalu apa bedanya dengan prediksi?
Puraga Baskara, selaku salah satu pendiri Red Messenger mengatakan bahwa Tarot adalah media yang baik dalam mengadakan pembacaan psikologi seseorang. Dengan kata lain kemampuan tarot adalah dalam mencoba menelaah sisi uncoscious mind seseorang. Hal ini membuat saya bertanya, sebenarnya apakah selalu manusia memiliki sisi unconsicous? Ya, Carl Gustav Jung membahas juga hal ini dari segi yang lebih “rasional” dengan mengatakannya sebagai collective unconscious. Jung memberikan contoh bahwa collective unconscious lahir juga sebagai turunan dari generasi terdahulu. Misalnya manusia takut pada binatang buas, hal ini lah yang kemudian lahir menjadi sebuah dasar kepribadian manusia dan menjadi sebuah archetype, yakni pemahaman sebuah bangunan pemikiran yang diturunkan secara primordial.
Kembali ke Tarot, sisi unconscious mind inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para reader (pembaca tarot-red) dalam kemudian mencari pemahaman atas permasalahan yang dialami oleh orang yang dibacanya. Dari celah itulah kemudian kartu-kartu itu secara acak memunculkan kemungkinan-kemungkinan (prediksi) yang sebenarnya memang sudah hadir di depan mata, namun seringkali tidak disadari oleh manusia itu sendiri. Inilah yang kemudian dikatakan keajaiban, wow, super, terus salto gitu #eh. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah konstruksi kesadaran diri kita yang memang seringkali melupakan banyak hal serta kemungkinan yang bisa digapai sesuai dengan yang telah diperbuat, sehingga terbaca kemungkinannya yang juga sekaligus menjadi Qadar nya. Namun tentunya Qadar seperti apa yang akan diterima? Itu kemudian tidak bisa juga dijustifikasi oleh Tarot secara sepihak.
Oleh karena itulah sifat tarot yang sebenarnya prediktif sangat kental, bukan sebagai sebuah ramalan yang mutlak.
Namun apakah Tarot itu kemudian dilarang? Saya pribadi tidak melarang tarot. Akan tetapi tidak ingin juga bergantung pada tarot, karena yang saya khawatirkan adalah godaan syetan yang menggoyahkan iman kita dan menganggapnya sebagai sebuah referensi mutlak, karena bagaimanapun juga Manusia tak pernah luput dari kesalahan dan lupa. Semoga kita selalu dalam lindungannya, Amin Ya Rabbal Al’amin..
by Nuku Nugraha Salam, seorang teman dan yang memberikan banyak inspirasi untuk Red Messenger
[1]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnu Atsir, (IV/22).
[2]. Mu’jam Maqaayiisil Lughah, (V/62) dan lihat an-Nihaayah, (IV/23).
[3]. Rasaa-il fil ‘Aqiidah, Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin, hal. 37.
[4]. Lihat, Ta-wiil Musykilil Qur-aan, Ibnu Qutaibah, hal. 441-442. Lihat pula, Lisaanul ‘Arab, (XV/186), al-Qaamuus, hal. 1708 bab qadhaa’, dan lihat, Maqaa-yiisil Lughah, (V/99).
[5]. Lisaanul ‘Arab, (XV/186) dan an-Nihaayah, (IV/78).
[6]. Al-Qadhaa’ wal Qadar, Syaikh Dr. ‘Umar al-Asyqar, hal. 27.
[7]. Fat-hul Baari, (XI/486).